Alat bantu pengumpul ikan atau rumpon (FAD) adalah jenis alat tangkap yang digunakan oleh banyak perikanan skala kecil di Indonesia untuk memikat ikan tuna. Pemerintah baru-baru ini memperkenalkan peraturan seputar penggunaan rumpon untuk memastikan penggunaannya yang luas berkelanjutan. Namun, rumpon sering kali dipasang tanpa pemantauan yang tepat. Hal ini menyulitkan nelayan untuk mematuhi peraturan.
Jadi, bagaimana cara mendorong nelayan untuk mendaftarkan penggunaan rumpon? Dan metode apa yang terjangkau dan dapat digunakan untuk membantu pengelola perikanan melacak kepatuhan terhadap peraturan tentang rumpon?
Ahmad Catur Widyatmoko adalah peneliti pascasarjana yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Dengan dukungan Student Scholarship Grant MSC pada tahun 2018, ia melanjutkan program magister di Universitas Basque Country di Spanyol. Kami berbicara dengan Ahmad untuk mempelajari lebih lanjut tentang hasil temuan dari penelitiannya dan apa yang dijanjikan bagi ilmu perikanan kedepannya.

Ahmad memegang tuna mata besar © Ahmad Catur Widyatmoko
Mengapa Anda memilih untuk belajar ilmu perikanan?
Sebagian besar dari 240 juta penduduk Indonesia, tempat saya dibesarkan, tinggal di daerah pesisir. Geografi negara ini – yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau – menunjukkan pentingnya laut bagi ketahanan pangan dan mata pencaharian. Itulah sebabnya saya ingin membantu mengelola sumber daya laut, khususnya ikan, dengan cara yang berkelanjutan.
Apa yang menjadi fokus proyek anda?
Proyek saya melacak penggunaan alat pengumpul ikan (FAD) yang ditambatkan - yang secara lokal dikenal sebagai rumpon - pada perikanan skala kecil di Indonesia. Meskipun sudah ada peraturan yang diterapkan pada rumpon di Samudra Pasifik bagian barat, namun sebagian besar masih belum terdokumentasi. Hal ini membuat kesulitan untuk memahami apakah peraturan tersebut dipatuhi.
Sekitar 90% nelayan tuna di Indonesia adalah nelayan skala kecil atau nelayan tradisional. Mereka menggunakan rumpon yang cenderung memikat ikan yang lebih kecil yang belum mencapai ukuran tangkap yang sesuai, sehingga penangkapan ikan yang berlebihan dapat dengan cepat terjadi jika tidak diatur.
Saya ingin mengetahui apakah kita dapat mendeteksi jumlah dan lokasi rumpon dan mencari pola dalam cara penggunaannya. Saya juga menyelidiki apakah kita dapat memverifikasi tingkat tangkapan menggunakan data pergerakan kapal atau penggunaan rumpon.
Apa sebenarnya rumpon itu?
Rumpon adalah struktur yang digunakan untuk memikat ikan, yang sering berkumpul di bawah benda-benda terapung di laut. Terkadang benda-benda ini dibiarkan hanyut di laut, tetapi saya menyelidiki rumpon yang ditambatkan ke dasar laut.
Di Indonesia, rumpon sering kali terbuat dari daun kelapa atau daun palem. Aromanya memikat kawanan ikan, yang kemudian berkumpul di sekitar alat tersebut. Kami berpikir bahwa ikan-ikan tersebut melakukan ini untuk mencari tempat berlindung, atau untuk berburu ikan lain yang ditemukan di sana. Para nelayan kemudian menggunakan tali pancing untuk menangkap ikan tersebut dari kano atau perahu kecil.
Nelayan sering merahasiakan lokasi rumpon mereka, agar nelayan lain tidak menggunakannya atau merusaknya. Alat tangkap nelayan longline dapat tersangkut di rumpon, sehingga mereka sering kali akan menghancurkan rumpon jika menemukannya di laut. Beberapa rumpon bahkan memiliki penjaga di rakit terdekat untuk melindungi mereka dan mungkin digunakan bersama oleh masyarakat untuk menutupi biayanya.
Sayangnya, banyak rumpon yang juga dipasang secara ilegal.

Kerja lapangan di atas kapal © Ahmad Catur Widyatmoko
Seperti apa kerja lapangan Anda?
Student Research Grant saya mendanai perjalanan selama 12 hari di atas kapal dari perikanan handline di Labuhan Lombok. Saya sangat menikmati berinteraksi dengan nelayan di dunia nyata – dan makan banyak sushi segar!
Saya bekerja sama dengan LSM lokal, Masyarakat dan Perikanan Indonesia, yang menjalankan program sukarela dengan perikanan untuk menyediakan pelacakan kapal dan informasi penggunaan rumpon.
Di Indonesia, hanya kapal yang lebih besar dari 30 Gross Ton (biasanya lebih panjang dari 16 meter) yang diwajibkan untuk membawa sistem pemantauan kapal. Perangkat ini juga tidak memungkinkan untuk perikanan skala kecil karena biayanya yang tinggi dan kurangnya sumber daya listrik pada perahu kecil.
Selama dua tahun terakhir, LSM tersebut telah menyediakan SPOT Trace Trackers bagi nelayan yang menggunakan baterai internal atau tenaga surya untuk mencatat lokasi perahu. Ini adalah sumber utama data untuk penelitian saya.
Bagaimana penelitian Anda akan membuat penangkapan ikan menjadi lebih berkelanjutan?
Banyak perikanan pesisir yang sangat kecil – mereka hanya menangkap sedikit ikan dan kemungkinan besar berkelanjutan. Namun, mereka dapat menyebabkan penangkapan ikan berlebihan karena rumpon memikat ikan muda.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia telah menerapkan peraturan baru. Peraturan tersebut mencakup tidak memasang lebih dari tiga rumpon oleh satu kapal pada satu waktu. Rumpon juga harus dipasang dengan jarak 10 mil laut. Namun, hal ini tidak mungkin dilakukan jika nelayan tidak tahu di mana rumpon lainnya berada.
Memastikan pemerintah dan nelayan mengetahui dengan tepat di mana dan jenis rumpon apa yang telah dipasang akan membantu nelayan mematuhi peraturan baru. Hal ini pada gilirannya akan membantu mencegah penangkapan ikan berlebihan.

Mengukur tuna sirip kuning © Ahmad Catur Widyatmoko
Apa hasil penelitian Anda?
Kami berhasil mengidentifikasi 34 kapal penangkap ikan dan mengunjungi 48 rumpon yang berbeda antara Agustus 2016-Januari 2018. Kami dapat menunjukkan bahwa metode kami dalam menggunakan informasi pelacakan kapal menyediakan alat yang cepat dan efektif untuk mengidentifikasi rumpon.
Kami mempelajari bahwa berbagi rumpon adalah praktik yang umum dan dapat mengurangi tingkat penyebaran rumpon yang dipasang. Hal ini juga dapat membuat nelayan lebih cenderung untuk memberikan data lokasi.
Kami juga menunjukkan bahwa informasi tangkapan dapat diperoleh dari analisis sederhana pola penggunaan rumpon dan lama perjalanan. Secara keseluruhan, temuan ini memberikan prediktor yang dapat diandalkan tentang kualitas perjalanan penangkapan ikan. Ini berarti pemantauan jarak jauh dapat digunakan untuk memperkirakan status stok ikan berdasarkan tingkat tangkapan.
Apa rencana anda selanjutnya?
Saat ini saya sedang belajar untuk mendapatkan gelar PhD dalam Ilmu Kelautan Kuantitatif di Universitas Tasmania dengan Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) di Australia.
Saya sedang menyelidiki potensi penggunaan pemantauan elektronik dan kecerdasan buatan untuk memahami dampak hilangnya rumpon terhadap ekosistem. Saya berencana menggunakan drone bawah air untuk melihat spesies apa yang berkumpul di bawah rumpon tersebut. Saya juga akan memasang tag GPS untuk melacak pergerakan rumpon jika rumpon terlepas dan hilang.
Kita juga memerlukan metode berbiaya rendah yang andal untuk mengumpulkan data tangkapan pada rumpon, untuk memahami apakah nelayan menangkap ikan secara berkelanjutan. Saya ingin melihat apakah kita dapat menggunakan perangkat pemantauan elektronik untuk melihat berapa banyak rumpon yang dikunjungi nelayan dan apa yang mereka tangkap dan akan mencoba mengotomatiskan proses ini menggunakan machine learning.
Ahmad saat ini bekerja dengan Asosiasi Perikanan Fair Trade Maluku dan Buru Utara yang bersertifikat MSC untuk gelar doktornya, di antara lainnya.
Baca penelitian selengkapnya
Widyatmoko, A. C., Hardest, B. D., Wilcox, C. (2021) Detecting anchored fish aggregating devices (AFADs) and estimating use patterns from vessel tracking data in small-scale fisheries. Scientific Reports. Vol. 11, nomor artikel: 17909.
Student Research Grant MSC
Baca lebih lanjut tentang Student Research Grant kami